Secangkir Kopi Sejuta Cerita Aceh: Ulee Kareng

Posted by Lisa Febriyanti on Jan 21, 2008 in ladang pelesir

Kopi Aceh punya cerita tersendiri bagi saya. Bukan hanya sesapan kesegaran rasanya namun juga budaya kopi di sebuah ibukota propinsi ujung Barat Sumatera ini memiliki nuansa sedikit berbeda. Di tiap cangkirnya ada sejuta kisah unik.

Awal tahun lalu, saya berkesempatan untuk menjejakkan kaki di Banda Aceh. Sebenarnya kunjungan ini adalah dalam rangka tugas pembuatan video profile potensi wilayah Nanggroe Aceh Darusalam yang terus berekonstruksi dan berekonsiliasi. Putar-putar Banda Aceh yang saat itu sudah mulai ramai, menampakkan beberapa pemandangan yang menarik bagi saya. Yaitu maraknya warung kopi. Bukan hal yang aneh memang jika hanya warung kopi biasa, tapi warung kopi di Banda Aceh bukan berbentuk warung kopi seperti di Jawa pada umumnya.

Di Banda Aceh, yang disebut warung kopi bentuknya hampir sama seperti restaurant. Bukan duduk di bangku kayu, melainkan di kursi plastik dengan sandaran yang memungkinkan orang yang menduduki bersandar dengan santainya. Kursinya pendek, tempat dudukannya sejajar dengan meja. Jadilah para penikmat kopi itu makin nikmat meneguk minuman pahit itu.

Namun, salah satu warung kopi yang paling populer seantero Aceh, bahkan mungkin sudah menggema di hati para pengunjung yang pernah ke Aceh adalah kopi Ulee Kareng. Di warung kopi ini, rasanya tak pernah sepi pengunjung. Bahkan di jam kantor pun, masih juga para pekerja melewatkan waktunya di sini. Tapi kebanyakan pengunjungnya adalah laki-laki. Bahkan tak jarang saya menjadi satu-satunya perempuan di sebuah warung kopi.

Hmm…rupanya, bagi masyakat Aceh, ngopi adalah salah satu budaya untuk bersosialisasi. Mereka gemar berkumpul bersama dan aktivitas yang dilakukan adalah ngopi. Yah, maklum saja, provinsi ini menerapkan hukum syariat Islam, jadi tempat hiburan malam pun tak banyak di sana. Jadilah warung-warung kopi itu menjadi wadah untuk ajang temu dengan kawan, relasi bahkan kumpul keluarga.

Jika diajak ngopi di Aceh, jangan pula samakan dengan kita nongkrong di cafe seperti di Jakarta atau kota besar lainnya. Yang ada hanyalah sebuah ruang makan sederhana, namun penuh keriuhan.

Sambil menikmati kopi, di meja akan disuguhi beberapa jenis kudapan khas Aceh yang semua rasanya manis. Rupanya rasa ini menjadi favorit di sini. Kopinya sendiri, kebanyakan hadir dalam gelas kecil. Meskipun begitu, rasanya pas dan tidak terlalu pahit seperti espresso.

Bagi saya yang agak rentan dengan kopi, awalnya agak ragu meminumnya. Tubuh saya memang kurang bersahabat dengan kopi. Selalu menimbulkan reaksi yang kurang menyenangkan. Tetapi dengan kopi Aceh, reaksi yang saya dapatkan justru makin terasa bugar. Hampir satu minggu saya di sana, justru saya yang mengajak rombongan untuk ngopi dulu sebelum memulai pekerjaan.

Saat berbincang dengan pemilik warung, kopi Aceh terbuat dari kopi Robusta dan dicampur dengan sedikit mentega saat prosesnya. Dan untuk mendapatkan rasa yang khas, penyajiannya pun berbeda. Kebanyakan kopi Aceh diseduh langsung dalam air yang dipanaskan, kemudian dituang dalam gelas. Ini yang membuat ampas kopi seringkali tak ikut dalam gelas. Namun, sang pemilik juga memberikan sebuah trik menarik dalam untuk mendapatkan rasa kopi seutuhnya.

Pertama, taruh kopi secukupnya dalam gelas kecil, lalu tuangkan air yang mendidih (air harus benar-benar mendidih). Setelah itu, tutup gelas kopi dengan tatakan atau apapun yang menutup seluruh pinggiran gelas agar uapnya tidak keluar. Karena justru uap itu lah yang memberikan aroma memikat dan mempertahankan rasa kopinya. Biarkan selama tiga sampai lima menit, lalu baru diminum. Hmmm, memang beda sih rasanya.

Tips ini diberikan pada saya karena saya memborong tiga kilo kopi untuk saya pulang sebagai oleh-oleh ke kawan dan keluarga.

(sumber : http://kopiuleekareng.blogspot.com/2008/12/kata-orang.html)